Matahari telah tergelincir. Seorang lelaki terlihat bersegera menuju masjid ketika adzan zuhur
dikumandangkan dari sebuah masjid kampus. Lelaki itu berwudhu dan menunaikan shalat nawafil. Lalu ia menjadi makmum
di shaff terdepan. Shalat wajib ia laksanakan dengan ruku’ dan sujud yang sempurna. Setelah shalat tak lupa ia memuji nama Tuhannya dan memanjatkan doa untuk
dirinya, ibu, ayahnya dan untuk ummat Muhammad saw yang sedang berjihad fii sabilillah.
Sebelum menuju kelas untuk kuliah, lelaki itu menyempatkan
diri bersalam-salaman dengan beberapa jamaah lain. Dengan raut wajah yang bersahaja, ia sedekahkan senyum terhadap semua orang yang
ditemuinya. Ucapan salam pun
ditujukannya kepada para akhwat yang
ditemuinya
di depan masjid.
Lelaki yang bernama Ali itu kemudian segera memasuki ruang kelasnya. Ia duduk
di bangkunya dan mengeluarkan buku berjudul “Langitpun Terguncang’. Buku berisi tentang hari akhir itu
dibacanya dengan tekun. Sesekali ia mengerutkan dahi dan dan sesekali ia tersenyum simpul.
Ali sangat suka membaca dan meyukai ilmu Allah yang berhubungan dengan hari akhir karena dengan demikian ia dapat membangkitkan rasa cinta akan kampung akhirat dan tidak terlalu cinta pada dunia. Prinsipnya adalah “Bekerja untuk dunia seakan hidup selamanya dan beribadah untuk akhirat seakan mati esok.”
Sejak setahun belakangan ini, Ali selalu berusaha mencintai akhirat. Sunnah Rasululah saw ia gigit kuat dengan gigi gerahamnya agar tak terjerumus kepada bid’ah. Ali selalu menyibukkan
diri dengan segala Islam. Ia sangat membenci sekularisme karena menurutnya, sekulerisme itu tidak masuk akal. Bukankah ummat Islam mengetahui bahwa yang menciptakan adalah Allah swt, lalu mengapa mengganti hukum Tuhannya dengan hukum ciptaan dan pandangan manusia? Bukankah yang menciptakan lebih mengetahui keadaan fitrah ciptaannya?
Allah swt yang menciptakan, maka sudah barang tentu segala sesuatunya tak dapat
dipisahkan dari hukum Allah. Katakan yang halal itu halal dan yang haram itu haram, karena pengetahuan yang demikian datangnya dari sisi Allah.
Sementara Ali membaca bukunya dengan tekun, dua mahasiswi yang duduk tak jauh dari Ali bercakap-cakap membicarakan Ali. Mereka menyayangkan sekali, Ali yang demikian tampan dan juga pintar, namun belum mempunyai pacar, padahal banyak mahassiwi cantik
di kampus ini yang suka padanya. Tapi tampaknya Ali tidak ambil peduli. Sikapnya itu membuat para wanita menjadi penasaran dan justru banyak yang ber-tabarruj
di hadapannya. Kedua wanita itu terus bercakap-cakap hingga lupa bahwa mereka telah sampai kepada tahap ghibah.
Ali memang tak mau ambil pusing tentang urusan wanita karena ia yakin jodoh
di tangan Allah swt. Namun tampaknya iman Ali kali ini benar-benar
diuji oleh Allah SWT.
Ali menutup bukunya ketika dosen telah masuk kelas. Tampaknya sang dosen tak sendirian,
di belakangnya ada seorang mahasiswi yang kelihatan malu-malu memasuki ruang kelas dan segera duduk
di sebelah Ali. Ali merasa belum pernah melihat gadis ini sebelumnya. Saat dosen mengabsen satu persatu, tahulah Ali bahwa gadis itu bernama Nisa.
Tanpa sengaja Ali memandang Nisa. Jantungnya berdegup keras. Bukan lantaran suka, tapi karena Ali selalu menundukkan pandangan pada semua wanita, sesuai perintah Allah SWT dalam Al Qur’an dan Rasulullah saw dalam hadits. “Astaghfirullah…!”, Ali beristighfar.
Pandangan pertama adalah anugerah atau lampu hijau. Pandangan kedua adalah lampu kuning. Ketiga adalah lampu merah. Ali sangat khawatir bila dari mata turun ke hati karena pandangan mata adalah panah-panah iblis.
***
Pada pertemuan kuliah selanjutnya, Nisa yang sering duduk
di sebelah Ali, kian merasa aneh karena Ali tak pernah menatapnya kala berbicara. Ia lalu menanyakan hal itu kepada Utsman, teman dekat Ali. Mendengar penjelasan Utsman, tumbuh rasa kagum Nisa pada Ali.
“Aku akan tundukkan pandangan seperti Ali”, tekad Nisa dalam hati.
Hari demi hari Nisa mendekati Ali. Ia banyak bertanya tentang ilmu agama kepada Ali.
Karena menganggap Nisa adalah ladang da’wah yang potensial, Ali menanggapi dengan senang hati.
Hari berlalu… tanpa sengaja Ali memandang Nisa. Ada bisikan yang berkata, “Sudahlah pandang saja, toh Nisa itu tidak terlau cantik.. Jadi mana mungkin kamu jatuh hati pada gadis seperti itu” Namun bisikan yang lain muncul, “Tundukkan pandanganmu. Ingat Allah! Cantik atau tidak,
dia tetaplah wanita.” Ali gundah. “Kurasa, jika memandang Nisa, tak akan membangkitkan syahwat, jadi mana mungkin mata, pikiran dan hatiku ini berzina.”
Sejak itu, Ali terus menjawab pertanyaan-pertanyaan Nisa tentang agama, tanpa ghadhul bashar karena Ali menganggap Nisa sudah seperti adik… , hanya adik.
Ali dan Nisa kian dekat. Banyak hal yang mereka
diskusikan. Masalah ummat maupun masalah agama. Bahkan terlalu dekat…
Hampir setiap hari, Ali dapat dengan bebas memandang Nisa. Hari demi hari, minggu demi minggu, tanpa
disadarinya, ia hanya memandang satu wanita, NISA! Kala Nisa tak ada, terasa ada yang hilang. Tak ada teman
diskusi agama…, tak ada teman berbicara dengan tawa yang renyah.., tak ada…wanita. DEG!!! Jantung Ali berdebar keras, bukan karena takut melanggar perintah Allah, namun karena ada yang berdesir
di dalam hati…karena ia… mencintai Nisa.
Bisikan-bisikan itu datang kembali… “Jangan biarkan perasaan ini tumbuh berkembang. Cegahlah sebisamu! Jangan sampai kamu terjerumus zina hati…! Cintamu bukan karena Allah, tapi karena syahwat semata.”
Tapi bisikan lain berkata, “Cinta ini indah bukan? Memang indah! Sayang lho jika masa muda
dilewatkan dengan ibadah saja. Kapan lagi kamu dapat melewati masa kampus dengan manis. Lagipula jika kamu pacaran kan secara sehat, secara Islami.. ‘Tul nggak!”
Ali mengangguk-anggukkan kepalanya. “Manalah ada pacaran Islami, bahkan hatimu akan berzina dengan hubungan itu. Matamu juga berzina karena memandangnya dengan syahwat. Hubungan yang halal hanyalah pernikahan. Lain itu tidak!!! Bukankah salah satu tujuan pernikahan adalah untuk mengubur zina?”, bisikan yang pertama terdengar lagi.
Terdengar lagi bisikan yang lain, “Terlalu banyak aturan! Begini zina, begitu zina. Jika langsung menikah, bagaimana bila tidak cocok? Bukankah harus ada penjajakan dulu agar saling mengenal! Apatah lagi kamu baru kuliah tingkat satu. Nikah susah!”
Terdengar bantahan, “Benci karena Allah, cinta karena Allah. Jika pernikahanmu karena Allah, Insya Allah,
dia akan ridho padamu, dan akan sakinah keluargamu. Percayalah pada Tuhan penciptamu! Allah telah tentukan jodohmu. Contohlah Rasululah SAW, hubungan beliau dengan wanita hanya pernikahan.”
Bisikan lain berkata. “Bla.., bla.., Ali,… masa muda.., masa muda…, jangan sampai
dilewatkan, sayang lho!”
Ali berpikir keras. Kali ini imannya benar-benar
dilanda godaan hebat. Syetan telah berhasil membujuknya dengan perangkapnya yang selalu sukses sepanjang zaman, yaitu wanita.
Ali mengangkat gagang telepon. Jari-jarinya bergetar menekan nomor telepon Nisa. “Aah.., aku tidak berani.” Ali menutup telepon.
Bisikan itu datang lagi, “Menyatakannya, lewat surat saja, supaya romantis…!” “Aha! Benar! “ Ali mengambil selembar kertas dan menuliskan isi hatinya. Ia berencana akan menitipkannya pada teman dekat Nisa. Jantung Ali berdebar ketika dari kejauhan ia melihat Nisa terlihat menerima surat dari temannya dan membaca surat itu.
***
Esoknya, Utsman mengantarkan surat balasan dari Nisa untuk Ali, sembari berkata, “Nisa hari ini sudah pakai jilbab,
dia jadi cantik lho. Sudah jadi akhwat!”
Ali terkejut mendengarnya, namun rasa penasarannya membuatnya lebih memilih untuk membaca surat itu terlebih dahulu daripada merenungi ucapan Ustman tadi. Ali membaca surat itu dengan sungguh-sungguh. Ia benar-benar tak menyangka akan penolakan yang bersahaja namun cukup membuatnya merasa
ditampar keras. Nisa menuliskan beberapa ayat dari Al Qur’an, isinya :
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman : Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An Nuur : 30)
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang
disembunyikan oleh hati.”(QS. Al Mu’minuun : 19).
Ali menghela nafas panjang… Astaghfirullah… Astaghfirullah… Hanya ucapan istighfar yang keluar dari bibirnya. Pandangan khianatku sungguh terlarang. Memandang wanita yang bukan muhrim. Ya Allah… kami dengar dan kami taat. Astaghfirullah… [SOA]
(Judul asli: "Kala Iman Tergoda", dengan revisi. Pernah
diterbitkan
di Bulletin Biru SMUNSA Bogor No. 01/I/23 Shafar 1421 H)